Minggu, 17 Mei 2009

SEJARAH HUKUM ADAT







A. Zaman Hindu
Agama Hindu hanya mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali, sedangkan di daerah lain mendapat pengaruh dari zaman “Malaio polynesia”, yaitu : Suatu zaman dimana nenek moyang kita masih memegang adat istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian.

Pada zaman Hindu tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum agama Hindu serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya dari Cina). Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain :
- Sriwijaya – Raja Syailendra (abad 7 s/d 9)
~ Pusat pemerintahan : hukum agama Budha
~ Pedalaman : hukum adat Malaio Polynesia


- Medang (Mataram)
Masa raja “Dharmawangsa” dikeluarkan suatu UU “Iwacasana – Jawa Kuno – Purwadhigama.
Untuk mengabadikan berbagai peristiwa penting dalam bidang peradilan, telah dibuat beberapa prasasti antara lain :
- Prasasti Bulai (860 M)
- Prasasti Kurunan (885 M)
- Prasasti Guntur (907 M)


Setelah runtuhnya kerajaan Mataram, Jawa dipimpin oleh “Airlangga” yang membagi wilayah kerajaan atas :
- Kerajaan Jonggala
- Kerajaan Kediri (Panjalu)


Zaman raja-raja “Airlangga”, usaha-usaha yang dilakukan terhadap hukum adat :
1. Adanya meterai raja yang bergambar kepala garuda.
2. Macam-macam pajak dan penghasilan yang harus dibayar kepada raja


Zaman raja “Jayabaya” usaha-usaha yang dilakukan terhadap hukum adat:
1. Adanya balai pertemuan umum.
2. Bidang kehakiman, tidak dikenal hukuman siksa badan, kecuali kejahatan perampokan dan pencurian.
3. Hukuman yang berlaku kebanyakan hukuman denda.

- Zaman Singosari (Tumapel) – didirikan oleh Ken Arok (Rajasa)
Raja yang terkenal “Prabu Kertaqnegara” yang menghina utusan Cina (Men Gici). Usaha yang dilakukan terhadap hukum adat :
Mendirikan prasasti “Sarwadharma” yang melukiskan tentang adanya “Tanah Punpunan”, yaitu : tanah yang disediakan untuk membiayai bangunan suci yang statusnya dilepaskan dari kekuasaan Thanibala atau kekuasaan sipil (masyarakat) dengan ganti rugi.

- Zaman Majapahit – didirikan oleh Jayakatong (Jayakatwang)
Dengan adanya pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), Jayakatwang berhasil dibunuh. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, hukum adat mendapat perhatian berkat usaha Mahapatih Gajah Mada. Usaha yang dilakukan :
- Membagi bidang-bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misal : soal perkawinan, peralihan kekuasaan, ketentaraan negara.
- Keputusan pengadilan pada masa itu disebut : Jayasong (Jayapatra).
Gajahmada mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu : “Kitab Hukum Gajah Mada”


Kesimpulan :
Secara zaman ini di mana kerajaan-kerajaan yang ada dipengaruhi oleh agama Hindu dan sebagian kecil agama Budha. Hal ini terlihat adanya pembagian-pembagian kasta dalam bidang pemerintahan dan peradilan.
Zaman ini berakhir dengan wafatnya Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk dengan raja terakhir Kertabumi (1478). Sejak saat itu kekuasaan di Jawa diambil alih oleh Kerajaan Demak.
Sebab-sebab runtuhnya kerajaan Majapahit :
- Perpecahan diantara pemimpinnya.
- Perang saudara dan perebutan kekuasaan.

B. Zaman Islam
- Aceh (Kerajaan Pasai dan Perlak)

Pengaruh hukum Islam cukup kuat terhadap hukum adat, terlihat dari setiap tempat pemukiman dipimpin oleh seorang cendekiawan agama yang bertindak sebagai imam dan bergelar “Teuku/Tengku”.

- Minangkabau dan Batak
Hukum adat pada dasarnya besar tetap bertahan dalam kehidupan sehari-hari, sedang hukum Islam berperan dalam kehidupan keagamaan, dalam hal ini terlihat dalam bidang perkawinan.
Pepatah adat : Hukum adat bersendi alur dan patut, hukum agama/syara bersendi kitab Allah.
Di Batak yang terdiri dari berbagai suku :
- Toba
- Karo
- Dairi
- Simalungun
- Angkola
Masing-masing suku tetap pada hukum adat, karena menghormati Sisingamangaraja, tetapi berkat Ompu Nommensen, agam Kristen juga ikut berpengaruh (jalan damai).
Secara umum, agama Islam dan Kristen di Batak hanya dalam hal kerohanian saja, tetapi tetap dalam struktur kemasyarakatan hukum adat tetap dipakai.
Kedudukan pejabat agama hanya sebagai penyerta saja dalam pemerintahan desa, mengurus dan menyelenggarakan acara agama, misalnya : perkawinan, perceraian dan sebagainya.

- Sumatera Selatan (Palembang/Kukang)
Masuknya agama Islam berasal dari :
~ Barat : Pedagang/mubaligh dari Aceh dan Minangkabau
~ Utara : Pedagang/mubaligh dari Aceh, Malaka dan Cina
~ Selatan : Pedagang/mubaligh dari Cirebon dan Banten
Perkembangan terhadap hukum adat :
Pada masa “Ratu Senuhun Seding”, hukum adat dibukukan dalam bahasa Arab Melayu – UU Simbur Cahaya. Di dalamnya memuat istilah-istilah yang berasal dari hukum Islam, seperti : Khatib Bilal.
Berdasarkan Tambo Minang : Datuk Perpatih Nan Sabatang dari Minangkabau pernah mengusahakan tambang emas di daerha Rejang Lebong (Bengkulu).
Masuknya para mubaligh yang berasal dari Minangkabau membawa pula pengaruh terhadap hukum adat dengan gari matrilineal – daerah Semendo. (jadi menempatkan kedudukan wanita sebagai penguasa harta kekayaan dari kerabatnya).
Di daerah Semendo dengan dianutnya garis keturunan matrilineal, telah membawa pengaruh terhadap sistem kewarisan yang dipakai, yaitu :
Sitem kewaisan mayorat (Mayorat Erprecht), dimana anak wanita tertua sebagai “tunggu tubang” atas harta kerabat yang tidak terbagi. Sedangkan anak lelaki tertua disebut “payung jurai” yang bertugas harta pengurusan harta tersebut.
Di samping itu juga berlaku adat “kawin Semendo”, dimana suami setelah kawin menetap di pihak istri.

- Lampung
Masuknya Islam disini pada masa “Ratu Pugung” dimana puterinya yang bernama “Sinar Alam” melangsungkan perkawinan dengan “Syarif Hidayat Fatahillah/sunan Gunung Jati”, setelah jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Islam. Susunan kekerabatan yang dianut adalah garis keturunan laki-laki (patrilineal). Di mana laki-laki tertua (disebut “pun” – yang dihargai) – Kewarisan Mayorat. Ia berhak dan berkewajiban melanjutkan orang tua.

- Jawa
~ Jawa Timur : pelabuhan Gresik dan Tuban
Penduduknya : Kota pantai – orang pendatang (Arab, Cina, Pakistan) dengan agama Islam. adanya makam Maulana Malik Ibrahim. Penduduk asli : agama Hindu.
~ Jawa Tengah
BerdIrinya kerajaan Demak – Raden Patah.
Dimana Masjid – menjadi pusat perjuangan dan pemerintahan pembantu raden Fatah yang terkenal – Raden Sa’id/Sunan Kali Jogo.
Pada masa “Pangeran Trenggana” dengan bantuan Fatahillah berhasil menduduki Cirebon dan Banten.
~ Jawa Barat – kerajaan Pajajaran didirikan “Ratu purana”
Pelabuhan laut :
- Banten
- Kalapa (Sunda Kelapa)
Tahun 1552 Fatahillah memimpin Armada Demak dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa – Jayakarta.

- Bali
Pengaruh Islam sangat kecil, masyarakat masih tetap mempertahankan adat istiadat dari agama Hindu. Menurut I Gusti Ketut Sutha, SH bahwa hubungan antara adat/hukum adat dengan agama (khususnya agama Hindu) di Bali merupakan pengecualian. Hal ini diperkuat oleh penegasan Pemda Bali yang menyatakan :
Bahwa pengertian adat di Bali dengan desa dan krama adatnya adalah berbeda dengan pengertian adat secara umum.
Artinya : pelaksanaan agama dengan segala aspeknya terwujud dalam Panca Yodnya yang merupakan wadah konkrit dan tatwa (Filsafah) dan susila (etika) agama, karena seluruh kehidupan masyarakat Bali terjali erat berdasarkan atas keagamaan.
Contoh : dalam hal pembagian warisan erat hubungannya dengan pengabenan atau upacara pembakaran mayat yang hakekatnya adalah pengaruh agama Hindu, juga ada bagian tertentu dari jumlah warisan yang diperuntukkan untuk tujuan keagamaan.

- Kalimantan
~ Agama Islam hanya berhasil mempengaruhi masyarakat di daerah pantai.
~ Masyarakat daerah pedalaman masih berdasarkan kepercayaan dari zaman Malaio Polynesia – kepercayaan kaharingan.


- Sulawesi
Dimulai berdirinya kerajaan “Goa” oleh Datuk Ri Bandang. Pengaruh Islam hanya sebagai pengisi rohani, tidak merubah/mendesak adat masyarakat.

C. Zaman VOC (1596 – 1608 / 1600 – 1800)
Tanggal 20 Maret 1602 didirikan VOC yang merupakan gabungan dari maskapai dagang Belanda. Tahun 1619 VOC di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta (Batavia).
Wilayah VOC meliputi daerah di antara laut Jawa dan Samudera Indonesia, dengan batas-batas :
- Sebelah barat : sungai Cisadane
- Sebelah timur : sungai Citarum
Kedudukan VOC pada waktu itu
1. Sebagai pengusaha perniagaan
2. Sebagai penguasa pemerintahan
Guna menjaga kepentingan VOC di Hindia Belanda, tahun 1609 Staten General (Perwakilan Rakyat), Belanda memberikan kuasa kepada pengurus VOC di Banten (Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia/Raad Van Indie) untuk membentuk hukum sendiri.
Adapun hukum yang diteapkan pada waktu itu adalah hukum VOC, yang terdiri dari unsur-unsur :
- Hukum Romawi
- Asas-asas hukum Belanda Kuno
- Statuta Betawi
Statuta Betawi dibuat oleh Gubernur Jenderal Van Diemen yang berisikan kumpulan plakat-palakat dan pengumuman yang dikodifikasikan.
Menurut Van Vollenhoven : Kebijakan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut disebutnya “Cara mempersatukan hukum yang sederhana”
Dalam praktek/kenyataannya, peraturan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut tidak dapat dijalankan, sebab :
1. Ada hukum yang berlaku di dalam pusat pemerintahan VOC, yaitu dalam kota Betawi/Batavia.
2. Ada hukum yang berlaku di luar pusat pemerintahan VOC, yaitu di luar kota Betawi/Jakarta.
Menurut Utrecht : Hukum yang berlaku untuk penduduk asli adalah hukum adat. kecuali untuk daerah Betawi/Jakarta
Sebab : - kesulitan sarana transportasi waktu itu.
- kurangnya alat pemerintah.
Sebagai jalan keluarnya, maka dikeluarkan resolutie 21-12-1708
Sebagian Priangan (barat, tengah dan timur) diadili oleh Bupati dengan ombol-ombolnya dalam perkara perdata dan pidana menurut hukum adat.
Perhatian terhadap hukum adat pada masa ini sedikit sekali, tapi ada beberapa tulisan-tulisan baik perorangan maupun karena tugas pemerintahan, diantaranya :
1. Confendium (karangan singkat) dari D.W. Freijer
Memuat tentang peraturan hukum Islam mengenai waris, nikah dan talak.
2. Pepakem Cirebon.
Dibuat oleh Mr. P.C. Hasselar (residen Cirebon). Membuat suatu kitab hukum yang bernama “pepakem Cirebon” yang diterbitkan oleh Hazeu. Isinya merupakan kumpulan dari hukum adat Jawa yang bersumber dari kitab kuno antara lain : UU Mataram, Kutaramanawa, Jaya Lengkaran, dan lain-lain.
Dalam Pepakem Cirebon, dimuat gambaran seorang hakim yang dikehendaki oleh hukum adat :
a. Candra : bulan yang menyinari segala tempat yang gelap
b. Tirta : air yang membersihkan segala tempat yang kotor
c. Cakra : dewa yang mengawasi berlakunya keadaan
d. Sari : bunga yang harum baunya


Penilaian VOC terhadap hukum adat :
1. Hukum adat identik dengan hukum agama
2. Hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk kitab hukum.
3. Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung kebutuhan)
4. Hukum adat kedudukannya lebih rendah dari hukum Eropa.

D. Kedudukan Hukum Adat Zaman Daendels
Hukum adat pada zaman Daendels, tidak diperhatikan dan tidak ada peraturan-peraturan yang lahir. Daendels berpendapat bahwa hukum adat di Jaea terdiri atas hukum Islam. Akan tetapi hukum adat keseluruhan menurut Daendels terdiri atas hukum Islam.
Menurut Daendels derajat hukum Eropa lebih tinggi dari hukum adat. Meskipun demikian Daendels mempunyai pengertian tentang desa sebagai persekutuan. Selain itu Daendels juga mengenal sistem panjer.

E. Kedudukan Hukum Adat zaman Raffles
Raffles beranggapan bahwa hukum adat sama dengan hukum islam. Hukum adat menurut Raffles tidak mempunyai derajat setinggi hukum Eropa. Hukum adat dianggap hanya baik untuk bangsa Indonesia, akan tetapi tidak patut jika diberlakukan atas orang Eropa.

Politik Hukum Kolonial
Pada tahun 1838 di negeri Belanda dilakukan kodifikasi terhadap semua aturan perundangan terutama hukum perdata dan hukum dagang. Dengan adanya kodifikasi hukum, di Belanda timbul juga pemikiran untuk diberlakukan unifikasi hukum di Hindia Belanda. hal ini sesuai dengan asas konkordansi. Saat itu di Hindia Belanda berlaku hukum adat bagi golongan bumiputera yang selama ini hukum adat belum pernah mendapat perhatian. Tugas ini diserahkan kepada Mr. Hageman, tetapi tugas ini gagal, karena pemerintahan Belanda tidak mengetahui keadaan hukum di Hindia Belanda. Tugas tersebut diganti oleh scholten, lalu diganti lagi oleh Mr. H.L. Wichers. Tugas utamanya adalah mengadakan unifikasi hukum.
Unifikasi hukum ini ditentang oleh Van der Vinne yang mengatakan :
Suatu kejanggalan untuk memberlakukan hukum Belanda di Hindia Belanda yang sebagian besar penduduknya beragama Islam dan memegang teguh adat istiadat mereka. Pada tahun 1848, hasil unifikasi dan kodifikasi terhadap hukum perdata dan hukum dagang di Belanda telah selesai. Dan ini merupakan hasil kerja dari :
1. A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgering) mengenai ketentuan umum perundang-undangan di Hindia Belanda.
2. B.W. (Burgelijk Wetbock) mengenai hukum perdata.
3. Wetbock van Krophandel (WUK) mengenai hukum dagang.
4. R.O. (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie) mengenai peraturan susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan.


Sedangkan hasil kerja dari Mr. H.L. Witchers antara lain :
1. RV/BRV (Reglement op de Rechtsvordering). Mengenai hukum acara perdata untuk golongan Eropa di Indonesia.
2. RSV (Reglement of de Rechtstraftvordering). Mengenai hukum acara pidana untuk golongan Eropa di Indonesia.
3. HIR (Herzien Inland Reglement) mengenai hukum acara perdata dan acara pidana untuk golongan bumiputera di Jawa dan Madura.
4. RBG (Rechtreglement Buitentewesten). Mengenai hukum acara pidana dan hukum acara perdata untuk golongan Bumiputera di luar Jawa dan Madura.


Dalam bidang hukum tanah, dilakukan unifikasi hukum diantaranya :
1. Agrarische Wet (stb. 1850-1855). Lahir atas desakan pengusaha swasta yang dikenal dengan Cultuur Stelsel.
2. Agrarische Besluit (stb 1870-1877), mengenai Domein Verklarine.
3. Agrarische Zigendum (stb 1872-1877), yang sekarang dikonversi menjadi hak milik, Hak Guna Usaha dan hak Guna Bangunan.
4. Vervremding Verbrod (stb 1875-1879)
Saat itu yang dikodifikasi hanya hukum perdata berat dan hukum dagang. Sedangkan untuk hukum adat belum diperhatikan.
Mengenai hukum adat timbul pemikiran untuk melakukan unifikasi sesuai kepentingan ekonomi dan kepentingan keamanan dari pemerintah Belanda, tetapi termasuk kepentingan bangsa Indonesia.
Tahun 1904 pemerintah Belanda (kabinet Kuyper) mengusulkan suatu rencana Undang-Undang untuk mengganti hukum adat dengan hukum Eropa dan mengharapkan agar Bumiputera tunduk hukum Eropa, karena hukum adat tidak mungkin diunifikasi dan dikodifikasi, selama ini usaha itu gagal. Kegagalan ini mengakibatkan hukum adat semakin terdesak dan ada pemikiran untuk menghilangkan hukum adat. Kegagalan untuk mengganti hukum adat dengan hukum Eropa, karena :
Dalam kenyataan tidak mungkin, bangsa Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia tunduk pada hukum Eropa yang disesuaikan dengan orang-orang Eropa, sedangkan bangsa Eropa hanya sebagian kecil saja, tidak mungkin bangsa Indonesia dimasukkan dalam golongan Eropa di dalam lapangan hukum privat.
Tahun 1927 pemerintah Belanda mulai menolak untuk mengadakan unifikasi hukum adat, mulai melaksanakan konsepsi Van Vollenhoven yang isisnya menganjurkan diadakan pencatatan yang sistematis dari hukum adat yang didahului dengan penelitian.
Tujuannya adalah untuk memajukan hukum dan untuk membantu hakim yang harus mengadili menurut hukum adat.

Konsepsi van Vollenhoven didukung oleh :
a) Pengalaman yang pahit bertahun-tahun lamanya, bahwa memaksakan hukum barat dari atas selalu gagal.
b) Selalu berkembangnya pengertian akan pentingnya hukum adat dalam lingkungan bangsa Indonesia
Politik hukum semenjak tahun 1927 adalah konsepsi Van Vollenhoven mengenai hukum adat. Sebelum menggunakan konsepsi Van Vollenhoven digunakan pasal II AB sebagai dasar hukum berlakunya hukum adat. Awalnya hukum adat tidak dikenal, istilah yang dikenal adalah istilah Undang-Undang Keagamaan, Lembaga Rakyat dan kebiasaan.
Dasar hukum yang berlaku pada saat itu adalah pasal II AB yang isisnya :
Bagi golongan pribumi, golongan Timur Asing berlaku peraturan-peraturan hukum yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.
Kegagalan mengadakan unifikasi dan kodifikasi terhadap hukum adat, dikarenakan keanekaragaman penduduk Indonesia, sehingga sulit diarahakan pada keseragaman hukum. Maka tahun 1906 DPR Belanda mempertahankan hukum adat dengan memberlakukan pasal 131 ayat 2 b IS yang berlaku 1 Januari 1926.


Pasal 131 ayat 2 b isinya :
Bagi golongan Bumiputera, Timur Asing, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.
Dengan demikian dasar hukum berlakunya hukum adat masa Hindia Belanda
- Pasal II AB ditujukan pada Hakim Indonesia
- Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat ordonansi.

Tahun 1927 – 1928
Merupakan tahun titik balik, dimana hukum Indonesia asli akan ditentukan kemudian setelah dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kebutuhan hukum mereka dan untuk sementara dipakai hukum adat, karena belum bisa ditinggalkan. Sarjana Belanda yang banyak memperjuangkan hukum adat adalan Van Vollenhoven disebut juga Bapak Hukum Adat.
Usaha yang dilakukan adalah :
- Menghilangkan kesalahpahaman hukum adat identik dengan hukum Islam
- Membela hukum adat terhadap usaha yang ingin menghilangkan hukum adat.
- Membagi wilayah Indonesia dalam 19 lingkup hukum adat.

Karya dari Van Vollenhoven tentang hukum adat adalah :
- Het Adatrech van Nederlandsc Indie (1901-1933), pengantar hukum adat Hindia Belanda.
- Een adat Wetboektje Voor Hele Indie (1910), buku adat untuk seluruh Indonesia.
- De Indonesienen Zinj Grond (1919), orang Indonesia dan tanahnya.
- De Ontdekring van Het Adatrecht (1829), penemuan hukum adat.

F. Kedudukan Hukum Adat pada Masa Pemerintahan Jepang
Masa itu berlaku hukum militer, sedangkan hukum perundangan dan hukum adat tidak mendapat perhatian saat itu. Peraturan pada masa pemeintahan Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum militer.
Ketentuan ini diatur pada UU No. 1 Balatentara Jepang 1942 pasal 3 isinya :
Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan, hukum dan Undang-Undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer. (dasar hukum adat masa Jepang).

G. Kedudukan Hukum Adat Sesudah Kemerdekaan


1. Masa UUD 1945 (17 Agustus 1945 – 27 Desember 1945)
Secara tegas hukum adat tidak ditentukan dalam satu pasal pun, tetapi termuat dalam :
a) Pembukaan UUD 1945 alinea IV
- Pokok-pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cita-cita hukum dan dasar negara adalah Pancasila yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia.
- UUD merupakan hukum dasar yang tertulis, sedangkan hukum adat merupakan hukum dasar yang tidak tertulis.
b) Pasal II Aturan Peralihan
- Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.

2. Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950)
Di dalam konstitusi RIS mengenai hukum adat antara lain :
- Pasal 144 (1) tentang hakim adat dan hakim agama
- Pasal 145 (2) tentang pengadilan adat
- Pasal 146 (1) tentang aturan hukum adat yang menjadi dasar hukuman

3.UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)
Pasal 104 ayat 1 UUDS 1950 isinya :
Dimana istilah hukum adat digunakan dengan jelas untuk dapat dipergunakan sebagai dasar menjatuhkan hukuman oleh pengadilan di dalam keputusan-keputusannya.

4. UUD 1945 (berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
- Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
- Tap MPRS No. II/MPRS/1960
(a) Asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat.
(b) Dalam usaha homogenitas di bidang hukum supaya diperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
(c) Dalam penyempurnaan UU Hukum Perkawinan dan waris, supaya diperhatikan faktor-faktor agama, adat, dll.
- UU No.5 tahun 1960 pasal 5
- UU No. 19/1964 jo UU No. 14/1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
“Semua putusan Pengadilan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum : sifatnya terang/visual”.
~ Pasal 27 ayat 1 :
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat”.
~ Pasal 23 ayat 1 :
“Segala putusan pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan baik yang berasal dari suatu peraturan atau sumber yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”
- Keppress RI No. II/1074 (Repelita Kedua 1974/1975 – 1978/1979)
2 unsur pokok dalam Pembangunan Hukum :
~ Sumber tertib hukum RI yaitu Pancasila sebagai landasan.
~ Pengarahan kebutuhan hukum sesuai keadaan hukum rakyat.

Jadi dasar hukum adat sekarang :
- Dekrit Presiden 5 Juli 1959. (pasal peralihan UUD 1945)
- Pasal 24 UUD 1945
- Pasal 23 ayat 1 UUD 1945.
- UU No. 14/1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

H. Kedudukan Hukum Adat dalam Tata Hukum Indonesia
Hukum Adat dijadikan dasar bagi terbentuknya hukum nasional dalam rangka pembangunan hukum. Hal ini dapat dilihat dalam Tap MPRS No. 11/MPRS/1960 dimana asas yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum adalah :
(a) Pembangunan hukum harus diarahkan pada homogenitas dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
(b) Harus sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
Hukum adat dijadikan dasar bagi hukum nasional, karena merupakan hukum yang mencerminkan kepribadian/jiwa bangsa Indonesia.

Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional
Tanggal 17 Agustus 1945 : Indonesia merdeka : UUD 1945 : Politik Hukum Baru
Sebab : kemerdekaan hanya merupakan jembatan.
Artinya : mengubah dan memperbaharui tata hukum berdasarkan kebutuhan nasional sesuai dengan syarat-syarat hidup modern.
Proses untuk memodernkan masyarakat disebut modernisasi (hukum). Masalah yang mungkin timbul :
1. Apakah kita akan menghancurkan nilai-nilai/tradisi yang kita junjung tinggi demi modernisasi ?
2. Apakah modernisasi dihentikan saja demi nilai-nilai yang kita junjung tinggi ?
3. Apakah modernisasi dilakukan di atas dan melalui nilai-nilai tersebut ?

Politik hukum Indonesia terhadap hukum adat ?
1. TAP MPRS No. II/MPRS/1960 tentang “Pembinaan Hukum Nasional”.
Dibentuk : LPHN dengan No. 107 tahun 19…
Tugas : melaksanakan pembinaan hukum nasional sesuai dengan TAP MPRS No. /MPRS/1960 (berdasarkan hukum adat)
2. TAP MPR No. IV/MPR/1973
3. TAP MPR No. II/MPR/1978
4. TAP MPR No. II/MPR/1997

Tahun 1975 diadakan seminar tentang “Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional” antara FH-UGM dan BPHN, hasil kesimpulan seminar :
1. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju unifikasi dengan tidak mengabaikan berkembangnya hukum kebiasaan pengadilan dalam pembinaan hukum.
2. Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat berarti :
a. Menggunakan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.
b. Menggunakan lembaga-lembaga hukum adat untuk dimodernisasikan sesuai kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri-ciri dan sifat kepribadian Indonesia.
c. Konsep-konsep hukum adat dimasukkan dalam lembaga-lembaga hukum baru. ukum asing dipergunakan untuk memperkaya dan mengembangkan hukum nasional.
3. Dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, hukum adat merupakan salah satu unsur, sedangkan dalam hukum kekeluargaan dan hukum waris merupakan intinya.

Sesuai dengan pendapat Eugene Erlich (sociological yurisprudence) tentang living law (hukum yang hidup/hukum positif yang baik) : bahwa dalam membuat UU hendaknya diperhatikan apa yang hidup dalam masyarakat.
Memang harus diakui kelemahan-kelemahan hukum adat sendiri :
1. Bersifat lokal
2. Sifat majemuk masyarakat Indonesia
3. Kompleksnya masalah-masalah antara yang satu dengan yang lainnya.
Akibat : timbul pro dan kontra dimasukkannya hukum adat sebagai unsur hukum nasional